Kamis, 19 Februari 2009

Perguruan Muhammadiyah, Siapkah Menghadang Sekulerisasi Pendidikan ?

Sekuler. Sebuah istilah yang tabu bagi masyarakat yang memimpikan suasana religius dalam setiap aspek kehidupan. Memaknai urusan agama sebagai urusan pribadi yang

hanya boleh ditunjukkan dalam lingkungan pribadi (private area) dan tidak boleh dibawa-bawa ketika memasuki ranah publik (publik area) adalah inti dari paham ini. Para pendukungnya, yang dikenal dengan sebutan kaum sekuleris, berpendapat bahwa nilai-nilai agama tidak boleh dicampur adukkan dengan nilai-nilai keduniaan. Argumen mereka, bahwa agama merupakan urusan manusia dengan Tuhan, yang tak ada sangkut pautnya dengan urusan keduniaan, pun demikian dalam bidang pendidikan.
Bidang yang satu ini tak luput dari penetrasi mereka pula, kebanyakan dikommandoi kaum intelektual yang telah ter-baratkan. Suatu konsep yang jelas-jelas bertentangan dengan sikap hidup seorang beragama (Islam) tentunya.

Namun apa lacur, justru bayang-bayang sekulerisme secara sistematik telah merasuki sistem pendidikan.kita. Tengok saja UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI pasal 15. Disitu disebutkan:”Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.” Jelas terlihat, pasal ini mendikotomi (memisahkan) antara pendidikan agama dan pendidikan umum, salah satu gejala awal sindrome sekulerisme. Memang diakui kurikulum kita masih menyisakan tempat untuk pendidikan agama, tapi porsinya sangat minim sekali dan jelas tidak proposional serta tidak dijadikan sebagai landasan bidang pendidikan yang lain. Rata-rata pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, dari SD s/d SMU hanya 2 s/d 3 jam pelajaran tiap minggunya. Di tingkat Perguruan Tinggi umum lebih parah lagi, 2 jam pelajaran dengan muatan 3 SKS, itupun hanya diberikan dalam satu semester dari total perkuliahan ± 8 semester (± 4 th). Bahkan di ITB, mata kuliah agama hanya merupakan mata kuliah pilihan di semester akhir. Lebih runyam lagi di Fak. Kedokteran Universitas Sumatra Utara, di Universitas favoritnya orang Sumatra ini mata kuliah agama malah ditiadakan sama sekali

Hal sedemikian masih diperparah lagi dengan materi agama yang disampaikan dalam kurikulum kita, baik sekolah umum maupun sekolah Muhammadiyah, sama sekali tidak menarik dan terkesan teoritis sekali. Sehingga terkesan pendidikan agama itu “menggantung di langit” karena disampaikan secara tidak aplikatif. Menarik sekali kiranya ungkapan salah seorang pakar sekaligus praktisi pendidikan lulusan Boston University bidang Kurikulum dan Pengajaran, Erma Pawitasari, M.Ed . Menurutnya perlu adanya perubahan paradigma pendidikan agama (khsusnya Islam) saat ini sehingga materi agama itu tidak terasa “diawang-awang”. Strateginya dengan mengintegrasikan materi agama dengan materi umum. Sebagai misal, pada pengajaran matematika, akan lebih menarik jika dikaitkan dengan penghitungan zakat, mawaris (pada materi pecahan atau prosestase), dsb. Materi pengetahuan alam dikaitkan dengan ayat-ayat Qur’an dan Hadist yang sesuai, sebagaimana telah ditempuh oleh ilmuwan asal Turki Harun Yahya. Pengajaran Bahasa (baik Indonesia atau Inggris) dikaitkan dengan Tarikh Nabi, Sahabat, Ulama-ulama dan sebagainya. Tentunya ini hanya sekedar contoh sederhananya saja, intinya menghilangkan gap antara materi umum dengan materi agama. Dengan demikian, siswa tidak merasa materi agama itu suatu “lahan” tersendiri, namun sebaliknya, materi agama menjadi basis dari materi-materi umum lainnya.

Sebenarnya, langkah yang sedemikian pernah dirintis oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Mejelis Pendidikan-nya. Bahkan sudah diterbitkan buku-buku pelajaran berlabel Syariah. Yang pernah penulis sendiri lihat dan bahkan sempat rekan penulis mengikuti pelatihannya adalah buku “Sains Syariah”. Menarik sekali. Dalam buku tersebut terdapat kutipan ayat-ayat yang sesuai dengan materi. Namun sayang sekali, gaungnya sekarang sudah tak terdengar lagi. Masih jalankah program tersebut? Atau berhenti ditengah jalan karena minimnya dukungan dana? Penulis sendiri, yang notabene menjadi staff pengajar pula di salah satu Perguruan Muhammadiyah, hingga hari ini belum pernah mendapati kelanjutannya.

Sudah saatnya Muhammadiyah memainkan peranannya untuk mengkounter arus sekulerisasi pendidikan ini. Sebagai sebuah Ormas Islam yang memiliki aset pendidikan yang sangat besar, tentu saja Muhammadiyah mempunyai peranan yang cukup tinggi untuk mencapai perubahan ini. Akan sangat membantu sekali seandainya proyek pengadaan buku-buku pelajaran berlabel Syariah diatas segera digalakkan dan disebar luaskan ke sekolah-sekolah Muhammadiyah. Keterlibatan dosen-dosen bahkan mahasiswa-mahasiswa PTM-PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) seluruh Indonesia untuk penyusunannya mutlak diperlukan. Tidak perlu jumpa fisik, cukup dengan mengadakan diskusi melalui mailing-list. Tidak perlu ada seminar yang boros biaya. Cukup tawarkan konsepnya melalui Internet, didisikusikan, bila sudah ketemu konsep idealnya, segera susun. Setelah terselesaikan, sebarkan melalui Internet dengan format PDF, bebaskan setiap orang untuk mengunduh (download) untuk kemudian bisa dicetak, baik oleh sekolah Muhammadiyah ataupun Sekolah Umum. Yang terakhir, wajibkan setiap sekolah Muhammadiyah untuk memakai buku tersebut sebagai buku pegangan utamanya. Mungkin, untuk tahap awal, bisa dirintis dari tingkat SD/MI dulu, begitu seterusnya sehingga nantinya buku-buku bahan ajar berlabel Syariah dapat memenuhi kebutuhan dari SD/MI, SMP/MTs, SMU/MA, dan bahkan PT.

Tentu saja, sebagai koordinator dalam pelaksanaan proyek ini adalah PP Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikannya. Banyak diluar sana orang-orang yang berhati mulia yang memimpikan kemaslahatan untuk rakyat ini dengan tulus. Mereka sangat senang jika karyanya bisa berguna bagi orang banyak, mereka tidak memungut biaya atas nama apapun untuk karya mereka. Mereka laksana Linus Torvalt dengan kernel Linux -nya. Dan bisa jadi, sebagian dari mereka adalah kader-kader muda Muhammadiyah yang menunggu lambaian menuju kebaikan.

Dengan begitu, setidaknya kita telah berusaha menyelamatkan anak-anak kita dari wabah sekulerisasi. Dan juga, jika proyek ini ditangani secara serius tidak menutup kemungkinan akan muncul pribadi-pribadi semacam Al Khawarizmi, Sang Penemu Algoritma atau Ibnu Sina Sang Maestro Kedokteran atau Jabir Ibnu Hayan Sang Ahli Matematika atau Ibnu Khaldun Sang Peletak Dasar-dasar Sosiologi Modern dari sekolah-sekolah Muhammadiyah. Insya Allah. Amin.

Tidak ada komentar: